Seolah
nggak ada tempat curhat, jadi aku nulis di sini. Sebenarnya mereka ada, hanya
saja barang sepele seperti ini masa juga harus aku ceritakan secara verbal
dengan menyita waktu in time mereka. Baiklah,
sewaktu-waktu hal ini dibaca dan aku harap itu sudah berlalu.
Aku
awalnya semangat banget lanjut kuliah karena aku suka belajar dan explore hal
baru, tapi tentu aja kalau aku juga suka hal itu akan lebih mudah.
Berawal
dari Kimia MIPA di kampus menyandang nama Negri, aku akhirnya berlabuh pada
kampus gajah bernama salah satu kota di negeri ini. Senang sekali rasanya dan
beruntung, karena aku tahu dari tes masuk saja aku sebenarnya nggak compatible karena tanpa persiapan
selayaknya seorang pejuang engineer,
tapi toh atas berkat dan rahmat dari
Tuhan Yang Maha Kuasa, my Lord Jesus,
aku berhasil diterima dengan syarat khusus, syarat dimana aku harus berusaha
dan belajar lebih ekstra dari mereka yang memang berlatar belakang teknik
kimia.
Seperti
selintingan kabar yang pernah aku dengar bahwa teknik kimia itu belajar mengenai
fisika (yang terasa lebih kental) dibanding kimia (dan tidak sesuai namanya),
masuk di jurusan paling bonafit se-Indonesia, nomor satu, di kampus yang militan
kaya gini, membuat aku seringkali tersedak oleh materi-materi yang terasa tak asing
tapi lebih diperdalam lagi, seperti laju reaksi dan kinetika, termodinamika,
dan gaya-gaya yang mengikutinya yang aku sudah pernah terima sebagai salah satu
bab dalam mata kuliah salah satu penjurusan di kimia yaitu kimia fisik. Bayangkan,
satu bab dipelajari sedalam menjadi satu mata kuliah wajib dan dasar banget di
teknik kimia. Aku klenger.
Tapi
mau bagaimana lagi, kalau sudah nyebur,
yah berenang kalau nggak mau tenggelam meskipun tak jarang kram otot dan otak
harus dilalui seperti di plonco lagi.
Aku senang sekaligus merenung dalam. Ini pilihan aku sendiri memang, tapi bukan
kebetulan kan setiap nyerempet pada kebuntuan, selalu ada
jalan yang pada akhirnya Tuhan tunjukkan padaku.
Jujur,
aku bingung setengah hidup apakah aku salah jurusan? Apakah aku tidak
semestinya berada di sini? Lalu aku seringkali melakukan permainan perbandingan
dengan mengingat, “Dia aja bisa, kenapa aku nggak?” self-motivation yang diam-diam sering aku lakukan. Habis, mau
cerita sama siapa? Aku nggak mungkin ngeluh apalagi mundur dari keputusan yang
aku buat sendiri, ditambah biaya yang dikeluarkan sudah banyak memakai uang
negara. Aih! Betapa tidak tahu
dirinya aku kalau putus tengah jalan karena aku bosan pada ketidakmampuan
diriku sendiri.
Yang
entah setelah lulus nanti, apakah aku sekompeten seperti standar yang
ditetapkan dan ekspektasi dari dosen pembimbing maupun dosen-dosen pengajar
dari kampus gajah ini? Hah! Aku harus
terus lari, bukan hanya jalan saja, karena aku akan tertinggal. Aku mau,
semoga, sekeras apapun aku berusaha, aku bisa. Semoga. Doakan aku. Thanks and end.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar