Aku sudah menyampaikannya, bahkan sudah
kuserukan kuat-kuat. Suaraku sudah sampai kepada meraka, namun mereka tidak mau
mendengar. Mereka mengabaikan, bukan suaraku, namun suaraMU. Mereka melupakan
segenap taurat dan FirmanMU. Aku hanya takut, murkaMU menyala, dan tak
terpadamkan…
Jaman
dahulu kala, sebuah sejarah dicatat, agar bangsa berikutnya dapat belajar. Katanya,
sejarah itu adalah guru paling manjur, karena kita bisa belajar sejarah, which is pengalaman dari hal yang sudah
lampau. Kita, mungkin, bisa tahu bagaimana meraih kesuksesan dengan menggunakan
taktik di jaman keemasan suatu kerajaan dan menghindari kesalahan yang sama
pada saat keruntuhan suatu kerajaan.
Tapi
tampaknya, minat membaca orang-orang jaman ini sudah berkurang. Mereka lebih
suka menonton sinetron, telenovela, FTV, atau drama-drama serial yang ceritanya
monoton, akhirnya mudah ditebak, dan menyajikan kebohongan-kebohongan dalam
rangkaian kisah fiktif yang mungkin hanya bisa terjadi di dunia nyata sebesar
sepuluh pangkat minus lima belas persen…who
knows?
Suatu
ketika, ada yang berkisah ‘ini’ kepadaku, lalu aku meneruskannya karena aku
percaya pada apa yang aku dengar dan aku baca. Tidak banyak yang peduli, aku
rasa mungkin hanya 7-8% dari total manusia yang ada yang masih mau sedikit
menaruh perhatian mereka pada apa yang aku sampaikan. Berita itu memang terulang,
kabar itu sudah diserukan ratusan kali. Mungkin mereka jengah dan bosan pada
apa yang didengar namun tak kunjung datang.
Seseorang
meneriakkan akan datang air bah setiap hari, namun setahun berlalu, air bah
tidak datang dalam tahun itu. Warga yang tadinya siaga setiap hari, lelah. Kapan
air bah datang? Mereka lupa, ancaman itu bisa terjadi setiap saat. Mereka mungkin
bisa saja bosan menunggu, tetap bertahan di tempat itu, atau pergi. Apapun itu,
mereka harus tetap berjaga, harus!
Mungkin,
bangsa ini jika mengalami penyusutan kewaspadaan. Walau menunggu adalah hal
yang membosankan dan berkesan membuang-buang waktu, tapi tidak ada alasan untuk
tidak melakukannya, kurasa, ini menurut pendapat pribadiku.
Yah,
sudahlah…aku akan menyingkir ke daerah pegunungan, ke dataran yang lebih tinggi,
menunggu dalam bahtera yang sebenarnya sudah ada, sudah dibuat, namun banyak
yang keluar masuk karena tidak sabar menunggu, aku memilih menunggu di sana. Aku
mempersiapkan diri, bilamana air bah itu datang tidak ada yang tahu, tapi aku
mau memperlengkapi diri.
Pada
jaman Nuh, tidak ada yang mendukungnya membuat bahtera, seolah semua yang
dikerjakannya adalah perbuatan sia-sia dan apa yang ia sampaikan adalah omong
kosong. Hanya 8 orang yang masuk bahtera dari seluruh penduduk yang ada di Bumi
saat itu. Andaikata ada satu juta penduduk di seluruh dunia, perbandingannya
0,0008% yang diselamatkan dari air bah. Siapa yang menjadi saksi ketika TUHAN
memperdengarkan suaraNYA kepada Nuh? Hanya Nuh seorang dirilah yang tahu, dan
rohnya. Ia menyadari, ia tidak berdusta dan ia tidak mau mempermainkan TUHANnya
sehingga ia selamat dan terhindar dari malapetaka itu. Bukankah, TUHAN sendiri
yang mengatakan bahwa Nuh adalah orang yang paling saleh di jamannya?
TUHAN
lah yang mengenal hati setiap manusia.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar