Walaupun
aku ini seorang pemimpin, tapi diatasku ada lagi orang yang memimpin aku.
Walaupun
aku ini seorang rakyat jelata, pastilah ada yang memimpin aku #eh.
Kali
ini aku mau membahas bagaimana ketika aku menjadi rakyat jelata, ini bukan
karena aku turun pangkat, tapi karena aku diutus buat menyamar. Gilss…
Dua
kali sudah aku ditempatkan di dua area medan perang yang berbeda.
Tempat pertama.
Ditempat
ini aku menyamar sebagai seorang yang pendiam dan tidak terlalu banyak bicara. Adalah
seorang laki-laki yang kita inisialkan AT. Satu kesalahan bapak AT ini adalah terlalu
percaya sama aku karena dia memiliki ekspektasi sangat tinggi, terlalu tinggi. Padahal
sebagai kaum pendatang baru, dimana umurku yang masih belia, dan less experiences, aku ini apa atuh, tapi diberi posisi buat ngatur ini
itu, dan memberi masukan yang kemudian hampir 90% diterima dan dijalankan. At least, nggak mental 100% mentah-mentah,
sedih amet. Alhasil, apa? Tentu saja taktik
‘jatuh-menjatuhkan’ terjadi. Padahal aku sudah berperan semaksimal mungkin
menjadi kaum lemah yang diabaikan saja. Masalahnya, aku jadi menonjol dan tidak
terabaikan. Aku sudah bertekad akan segera menyelesaikan misi dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya, eh, tapi ternyata nasib berkata bahwa aku tertahan disana
dalam waktu yang cukup cepat. (hehe).
Tempat kedua.
Ditempat
ini aku menyamar sebagai seorang yang ceriwis, banyak gaya, banyak cerita,
walau awalnya introvert (namanya juga intro, jadi introvert dulu untuk baca
situasi medan perang), tapi pada akhirnya aku ekstrovert (bersyarat) juga. Nah,
di sini jiwa leader aku keluar, dan
aku sedikit berontak kalau ‘dikasarin, dikerasin, di-bossy-in.’ Aku banyak melihat ketidakselarasan antara mulut dan
hati. Tidak ada bukti kasat mata dan aku tidak mau repot untuk membuktikannya. Oh
yah, orang di atas aku, sebut saja Bapak AD (entah kenapa saya mainnya sama
bapak-bapak alias om-om terus), punya satu kesalahan. Dia terlalu sayang sama aku
secara personal (bukan masalah kerja professional yah), sebagai adiknya (yang
imut dan lucu) sehingga seringkali rakyat lainnya iri. Nah, karena aku tahu
disayang (cihui), aku sering kali agak bebas ke Bapak AD, jadi kelepasan. Padahal
di area medan ini, setiap orang bersikap formal yang hanya formalitas yang
membosankan. Huuuu! Bosan dengan formalitas!
Nah,
see?! Apa kesalahan dari dua orang
itu? Kesalahannya bukan di mereka sih, kesalahannya di aku karena aku menempatkan
mereka pada posisi (terlanjur) sulit untuk mencoba menjaga kestabilan dan
keseimbangan yang (hampir tidak mungkin) terjadi di medan perang tersebut.
Pada
akhirnya, ketika kericuhan terjadi, aku dipanggil untuk kembali ke markas besar
untuk diberi pencerahan dan pembelajaran lebih lanjut untuk mempersiapkan diri
pada medan perang yang lebih besar dan sulit dari dua tempat diatas.
Atas
jasa Bapak AT dan Bapak AD (nama mereka mirip loh, perawakannya juga mirip,
dikit), aku ucapkan terimakasih kepada BAPA aku yang menempatkan aku di posisi
dan lokasi perang yang tepat. Aku wong
nurut saja sama BAPA.
Akhir
kata,
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar