Nggak bisa
aku bahas secara langsung karena nggak tahu apa yang mau dibahas, mulai dari
mana, berakhir di mana, dan bagian mana yang perlu diceritain, aku nggak tahu. Soalnya
kelemahanku disini adalah lebih cepat berkata daripada berpikir. Nah, kalau lewat
tulisan kan kalau ada yang salah bisa dihapus, ketik ulang, bisa dibaca, sortir
ulang.
Jadi ceritanya
seminggu yang bolong-bolong nggak jelas, bikin bingung balik rumah atau nggak,
soalnya Rabu dan Jumat sama-sama dapat jatah presentasi heboh di jam pagi hari
nggak pake telat, kalau telat nanti diocehin dosennya. Males dengerin, males
melihat berpasang-pasang mata tertuju.
Tapi minggu
ini beda, nggak ada keraguan buat stay
di kosan, walau emang bener sih harus di kosan buat ngerjain tugas, karena
kalau di rumah, bakalan leha-leha
nonton Youtube, atau ngacir kesana-kemari. Yah, pokoknya sibuk deh.
Alasannya simple. Karena aku sedang ngumpet. Ngumpetin sesuatu itu paling
jago. Nggak bakal ada yang tahu kalau semalem nangis kejer sampe sesak napas
nggak tertahankan. Oh yah, bukti mata bengkak di pagi hari adalah hasil jerih
lelah yang bisa aku umpetin waktu paginya, walaupun disembunyikan dengan
pake skot mata dengan alasan membentuk lipetan mata (yang uda ada) dan pake
kacamata blink-blink mama yang
biasanya buat naik motor, agak alay sih, ya udahlah. Terus diketawain
temen-temen, walau ngomongnya bisik-bisik. Nggak peduli.
Hari Rabu
kemarin itu, baru ngerasa yang namanya tidur 2 jam gimana, jam 4 pagi sampai
jam 6 pagi. Aku pikir bakalan mabok, pusing, pingsan, dan sensi tingkat tinggi.
Semua nggak terbukti, kecuali soal sensi tingkat tinggi.
Jadi ceritanya
ini emang salah aku sendiri, pas Loker1 (kenapa namanya Loker? Nggak tahu, asal
sebut aja) nanya apa yang mau ditanyain pas presentasi saat itu, karena aku
presenternya dan dia penanya-nya, aku jawab nggak tahu. Nggak tahu karena aku
nggak peduli, nggak tahu karena aku nggak ngerti materi, nggak tahu karena aku
memang nggak tahu dan nggak bisa mikir saat itu. Harusnya prepare semalem, tapi semalem kerjanya nangis kejer sampe kejang. Semalem
harusnya tidur, tapi sibuk ngelap ingus. Jadilah nggak punya pikiran apa-apa,
yang ada cuma emosi, prasangka, curiga, dan sensi yang naik-turun bagai ombak.
Jadilah kelompok
penanya bertanya, yah memang tugasnya sih. Tapi si Bantal nanyanya nggak
santai. Emang kaya pantat mukanya, baunya busuk dah, males banget. Oke, anggap
aku lagi sensi, ngatain nggak pake hati lagi. Nah, Loker1 dalam posisi yang
tidak menguntungkan, jadilah aku ikutan sebel, tensi naik, tanpa kata-kata,
langsung cabut, ngumpetin perasaan, dan kabur.
Iya, aku
pingin kabur, kabur jauh biar nggak bisa ketemu sama si Mars (untuk saat ini sampai aku siap menghadapinya suatu hari nanti, nggak tahu kapan). Aku capek. Aku takut.
Aku marah. Aku kesal. Aku dikhianati. Aku bodoh. Iya, aku kesal karena aku
bodoh memberi kesempatan orang lain buat nyakitin aku dan nggak bisa ngontrol
diri untuk nggak melimpahkan itu pada orang lain. Aku kesal karena Mars bukan cuma
nyakitin aku, dia juga nyakitin orang-orang yang aku sayang tanpa aku bisa
melakukan apa-apa, di sini, sendiri. Aku kesal karena aku masih saja memberi
maaf walaupun udah dibohongin segitu parahnya. Aku kesal karena aku nggak bisa
cerita apa-apa sama orang di sekelilingku, terlalu malu untuk nangis di depan
mereka, terlalu bisu untuk mengucapkan kata. Lalu aku merasa sendiri, merasa
nggak ada yang akan ngerti, nangis lagi, marah lagi, kesal pada diri sendiri. Lalu
kembali berakting, seolah nggak ada apa-apa, seolah nggak punya masalah, seolah
aku tetap ceria seperti biasanya. Hari itu, aku tahu aku harus segera berdiri
dan nggak boleh membiarkan diriku sendiri down,
berlarut-larut dalam kesedihan. Pagi itu aku bangun dan aku tahu aku harus
berakting tetap senyum, aku harus berjalan kembali seolah aku nggak punya
beban, seolah aku nggak ingin mengingat secuil pun tentang Mars. Aku nggak
pernah tahu bahwa akan ada rasa yang disebut ‘sakit’. Aku nggak tahu lagi apa
itu bahagia. Aku ingin bahagia. Udah. Titik. Dalam kesederhanaan.
Setiap kali
denger nama Mars, aku nolak. Aku ingkari. Aku capek. Aku bosan. Aku ingin kuat.
Aku takut. Aku sendiri.
Hari ini
Kamis. Aku kira aku akan baik-baik saja, mengalihkan perhatian pada tugas,
mengalihkan perhatian pada tidur, mengalihkan perhatian pada drama, mengalihkan
pada guyonan yang sebenarnya aku nggak tahu dimana sisi lucunya, karena aku
kehilangan rasa, walau aku tetap tertawa hari ini. Sampai hilang kendali ketika
berkata, karena aku nggak mikir lagi hal itu bakal nyakitin orang lain, jadilah
ucapan ngasal. Fly high, kaya senior
mata 1 Watt. Kali ini si Loker3 yang jadi bête karena ucapanku yang nggak
karuan. Maaf banget buat Loker1 dan Loker3, nggak pernah pingin kalian kesal
karena aku. Nggak pingin juga maksa untuk ngerti keadaan aku. Karena cerita pun
tentang Mars, kalian juga nggak kenal. Nggak peduli ini dibaca atau nggak, maaf
buat semua yang udah aku buat kesal hari-hari ini. Aku cuma lagi hilang akal
untuk berusaha gimana lagi caranya supaya aku tetap kuat. Sekali lagi nggak
maksud buat siapapun dengan alasan apapun membuat orang lain merasa tidak
nyaman, sekalipun aku sedang merasa ketidaknyamanan yang ada.
ADIOS.
hmm, makanya yang dirasa kurang penting, atau malah gangu pkiran di jauhi, atau slsaikan scptnya
BalasHapus