Langsung ke konten utama

Hello Mr.Mochi


Hello Mr. Mochi. Aku tahu kamu bakal baca blog ini.
Hari ini kita bertemu setelah beberapa pekan tidak bertemu. Senang? Tentu saja.
Kamu? Aku?
Kita sama-sama senang bukan?
Bagaimana dengan kopi-kopi Padang Belantara? Kamu harus jadi penikmat kopi, itu namanya menikmati hidup. Mensyukuri buatan SANG PENCIPTA.
Mr. Mochi...
Sebenarnya, waktu kamu bilang sayang waktu itu, aku kaget. Aku takut kalau yang kamu bilang, “Mau jadi pacar gue?”
Yaiks, aku tahu jawabanku tapi aku tahu sebenarnya nggak sampai hati menyakiti perasaanmu.
Tapi, aduuuuuuuuh! Aku pingin jerit di telingamu!
Sayang sekali. Tiga tahun mengetahui satu sama lain tapi kamu belum mengenalku seberapa keras usahamu mengetahui rahasia hidupku. Padahal, Mr. Mochi, aku tak menyembunyikan sesuatu apapun. Kau yang mengetahui saudara-saudariku, kau tahu tentang pengajaran dan imanku. Tapi, mengapa sulit sekali untuk kau mengerti?
Memang benarlah tulisan ini:
Buatlah hati bangsa ini keras dan buatlah telinganya berat mendengar dan buatlah matanya melekat tertutup, supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik dan menjadi sembuh."
Apakah aku egois? Pernahkah aku meminta untuk disukai? Apakah kasar ucapanku? Memang beginilah aku.
Kalau kau mau mengenaliku, masuklah ke duniaku. Tidak kuminta, itu keputusanmu.
Mr. Mochi, seandainya kamu tahu betapa aku begitu mengharapkan keselamatan jiwamu, kamu pastilah mengerti.
Kenapa bingung? Mengapa menggunakan pikiran? Ia tak terselami dengan pikiran manusia. Mengapa masih kau andalkan dirimu?
Ahhhhhhhh....
Sebuah kerendahan hati, bahwa memang-lah kita ini manusia tak berguna, selalu mempunyai batasan, selalu berbuat dosa.
Bukankah kita ini tanah liat? Tak pernah terbayangkah olehmu, betapa kau berarti bagi YANG MENCIPTAKAN?
Mr. Mochi, sesungguhnya, aku mengharapkan yang terbaik bagimu.
Seandainya, Ia datang kemudian berkata kepadamu:
"Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia."
Bersediakah engkau Mr. Mochi?
Akankah kau jawab DIA:
"Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku."
Atau, telah kau ikuti perintahNYA dan ketika kau datang kepadaNYA, DIA menjawabmu:
"Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
Kemudian ketika kau mendengar perkataan itu, pergilah kau dengan sedih, sebab banyak hartamu.
Atau pilihan terakhir yang dapat menjadi ilustrasi bagimu:
Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku!" Maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia.
Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.
Maukah kau disamakan dengan pemungut cukai atau seorang nelayan? Mereka adalah orang rendahan dan yang dikucilkan.
Bersediakah kau hidup menderita bersama DIA?
Mr. Mochi, memang sangat sulit-lah mengenal sesuatu yang nampak, apalagi yang tidak.
Janganlah heran, Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih." karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."
Mr. Mochi...
Sungguh, aku menantikan...
Bilamanakah waktumu tiba untuk mengenal kebenaran yang hakiki.
Bilamanakah kau akan mengerti SANG RAJA SEGALA RAJA.
Mr. Mochi


ADIOS.
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...