Langsung ke konten utama

Layang-layang


Kau tahu mengapa aku membencimu? Karena aku mencintai orang sepertimu!
Aku rasa banyak pilihan di luar sana, yang lebih baik, mapan, dewasa, dan tampan dibandingkan dirimu, tapi aku lebih memilih untuk tidak bermain “Permainan Perbandingan” mengenai hal-hal yang terlihat seperti itu.
Sikapmu itu, yang membuaiku dengan rasa nyaman dan membuatku menjadi malas untuk singgah atau sekedar coba-coba rasa yang lain. Aku sudah terlanjur membuat diriku sendiri terpaku pada satu pilihan, yaitu kamu.
Kata orang, cinta itu buta, tapi kebutaan itu-lah yang nikmat, yang kurasakan sekarang. Betapa sialnya aku!
Percuma aku mengutuk seorang yang terberkati seperti dirimu. Pada akhirnya, kutukan itu tidak pernah terjadi malah semakin lama semakin memberkati dirimu. Jujur, aku kesal. Mungkin kutuk itu malah berbalik padaku, mengutukku untuk bersama dengan dirimu sepanjang sisa usiaku. Sekali lagi, sial!
Yang lebih parahnya adalah ketika kau mulai menyadari hal ini dan merasa di atas awan, merasakan kemenanganmu dan menghirup udara kekuasaan. Sial! Kau memainkan permainan tarik-ulur seolah kau pemain layang-layang yang piawai. Sialnya lagi, angin mendukungmu dan layang-layang itu tidak pernah terjatuh atau tersangkut apapun. Aku layang-layang itu, lelah terbang tinggi, tapi aku hanya bisa mengandalkan benang yang menghubungkan diriku dan dirimu. Kalau benang ini putus, maka aku akan terbang lenyap dan jalan hidupku makin tak berarah. Jadi mana yang harus kupiilih, aku tidak tahu. Sungguh, biarkan saja kau menarikku lekas-lekas dan mendekapku lekat. Bawa aku pulang, ketika jam mainmu sudah usai. Kuharap segera!

ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...