Langsung ke konten utama

Edisi Mr. Mochi



As usual, aku akan nulis sesuatu lagi buat seseorang nun jauh disana dikarenakan aku nggak yakin orang yang bersangkutan bakalan baca ini atau nggak baik dalam waktu dekat atau tidak sama sekali.
Seperti yang sudah-sudah, aku, si sibuk yang sulit banget ditemui atau diajak kemana-mana buat ketemuan sama teman-teman karena aku sudah punya jadwal resmi yang malas banget diotak-atik kecuali masalah yang urgent
Well, kebetulan karena aku punya latar belakang pendidikan kimia dan berkecimpung di dunia kimia lebih dalam (karena aku terlanjur sayang sama si mahkluk yang namanya kimia ini), kebetulan juga, teman aku (dan akan jadi teman aku walaupun saat ini dia berubah menjadi mahkluk menyebalkan nomor wahid!), bekerja di bidang yang hampir serupa walau tak sama, yah…ada hubungannya lah.
Aku bingung banget. Sebenarnya ketika aku ngajak oknum ini ketemuan, bukan buat bisnis aja, bukan lagi…karena aku udah nggak terlalu tertarik dengan prospek kecil dari omset yang nggak terlalu berarti itu lah (walau lumayan), bukan itu. Bukan juga ‘pemanfaatan’ dan memberikan harapan palsu seperti yang di judge-kan ke aku sedari dulu…bukan!
Aku beneran pingin ketemu karena aku mau ngobrol. Titik. Udah itu aja.
Nggak ada acara traktiran.
Pemanfaatan.
Memberikan harapan palsu.
Bukankah kita teman? (atau aku aja yang merasa?)

Aku jadi malah berpikir (besar kepala) bahwa si Mr. Mochi ini sengaja menghindar biar nggak baper lagi, biar bisa move on. Padahal udah aku jodohin, tawarin pasangan yang bisa diajak serius dengan kualitas yang nggak asal aja. Doi malah marah dan bilang nggak mau…
Mr. Mochi mungkin sudah bosan dengan aku. Bosan yah main-main? Padahal aku udah nggak main-main. Aku serius, pake banget! Mengingat waktu yang semakin singkat.
Mungkin teori aku benar (jadinya berprasangka deh) bahwa ketika orang lain yang sudah sedikit lebih dalam tahu bagaimana kehidupan aku yang sebenarnya, akan mundur perlahan dan meninggalkan aku karena mereka memilih untuk tidak melangkah masuk ke dalam lingkaran hidupku yang lebih dalam.
It hurts instead
Pfft… baper banget sih aku.
Whatever, aku jadi bete banget sama Mr. Mochi. Seolah aku yang ngejar-ngejar dan butuh banget. Aku nggak butuh omsetnya, aku cuma mau ketemua buat ngobrol. Titik. Titik. Walau ada sangkutin dikit. Tapi bukan itu intinya! Mr. Mochi jadi temen yang menyebalkan di Top Ten bad friends (dalam kamus aku).
Walau ketika Mr. Mochi baca juga dia mungkin akan bilang,
“Woi, yang lo tulis apa sih?”
“Woi, lebai banget sih lo.”
“Woi, Le, lo sehat?”
“Woi, Le, nggak jelas lo.”
“Woi…”
Ya itulah ciri khasnya, suka manggil-manggil ‘Woi’ nggak jelas.
Atau nggak manggil-manggil nama satu suku kata pertama nama lengkap aku.
Hah…capek bener.
Aku sampai bertekad bahwa nggak akan WA atau Line lagi sebelum doi duluan yang melakukannya.
Aku pikir dalam keanehan aku yang dulu dan sekarang masih tetap sama, kalau dulu doi bisa nerima aku, kenapa sekarang nggak, kan?!

Yah, salam buat Mr. Mochi dari Mule.

ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...